MAKALAH
ANTROPOLOGI
KEBUDAYAAN
SUKU MADURA
Disusun
Oleh :
Sayyidusyuhur : (131034049)
Bambang
Adi Suryono : (131034072)
Mohammad
Zainul Mifta :
(131034083)
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS
ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS
NEGRI SURABAYA
(UNESA)
2013
KATA
PENGANTAR
Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan
petunjuk dan hidayah -Nya sehingga kelompok kami dapat menyelesaikan makalah
dengan judul “Hubungan Antara Linkungan Dengan Sanitasi Makanan Dan Hubungan
Antara Polusi Udara Dengan Penyakit Kulit”.
Kami merancang makalah ini dengan
bentuk se’sederhana mungkin untuk dapat di mengerti oleh para pembaca makalah
ini, dan dapat diserapi akan ilmu pengetahuan yang tersirat di dalam makalah
ini.
Kami sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh
dari kesempurnaan oleh karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang
bersifat membangun dari berbagai pihak demi perbaikan makalah ini. Atasbantuan, arahan, danmotivasi yang senantiasadiberikanselamaini,
dengansegalakerendahanhati, dari kelompok kamimenghaturkansegenapucapanterimakasih.
DAFTAR
ISI
Kata Pengantar ..................................................................................................................... i
Daftar Isi .............................................................................................................................. ii
Bab I Pendahuluan ............................................................................................................. 1
1.1
LatarBelakang .................................................................................................... 1
1.2
RumusanMasalah ............................................................................................... 1
1.3
Tujuan ................................................................................................................ 1
Bab II Pembahasan ............................................................................................................ 3
2.1
Sejarah dan Asal – Usul Suku Madura ............................................................... 3
2.2
Domisili dan.Daerah
Pengembangannya ............................................................. 4
2.3
Adat Istiadat Suku Madura ................................................................................ 4
2.3.1
Kesopanan ............................................................................................... 4
2.3.2
Kehormatan
............................................................................................. 4
2.3.3
Agama ..................................................................................................... 5
2.3.4
Sistem Ekonomi
........................................................................................ 5
2.3.5
Stratifikasi
Sosial ....................................................................................... 5
2.3.6
Keagamaan
Suku Madura ......................................................................... 5
Bab III Penutup .................................................................................................................. 7
3.1
Simpulan ............................................................................................................ 7
3.2
Saran ................................................................................................................. 7
Daftar Pustaka ................................................................................................................... 8
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kebudayaan
adalah hasil pemikiran manusia yang dilakukan dengan sadar dalam kehidupannya.
Kebudayaan bersifat dinamis, kebudayaan selalau berubah seiring dengan
perkembangan zaman. Sebagai
salah satu suku di Indonesia, Madura banyak menyimpan keunikan yang menjadi
karakteristik Madura. Namun keunikan yang menjadi identitas madura itu, kini semakin
hilang. semakin pudarnya budaya Madura di masyarakat, bahkan pada masyarakat
Madura sendiri kekhasan madura sudah terlupakan. Terkikis oleh budaya luar. Hal
itu juga diperparah dengan tidak adanya sarana prasarana untuk melestarikan budaya
Madura. Jangankan Sarana resmi yang dinaungi pemerintah, dari pihak swasta atau
masyarakat sendiri saja tidak ada yang menyediakan tempat atau wahana
pelestarian budaya Madura.
Walaupun
ada, kelayakannya jauh dari kata standar. Kondisi seperti ini tentu mempersulit
bagi anak muda Madura untuk mengenali budayanya sendiri. Belum lagi faktor luar
yang mempengaruhi anak muda membuat mereka mengenal, mencintai, dan
memperaktekkan budaya luar yang jauh berbeda dengan dirinya. Kondisi inilah
yang membuat saya mengangkat Taman Budaya Madura sebagai objek rancangan saya.
Dengan harapan tempat ini nantinya bisa menjadi sarana yang nyaman untuk
melestarikan budaya madura.
1.2 Perumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang diatas, dapat merumuskan masalah sebagai berikut:
Rumusan
masalah dari objek rancang ini adalah, apakah pudarnya budaya Madura
dikarenakan tidak adanya tempat khusus yang mewadahi atau mengaperesiasi kebudayaan
madura?. Seperti yang telah penulis paparkan pada latar belakang bahwa kebudayaan
madura saat ini mulai hilang. Menurut dugaan penulis hal itu terjadi karena tidak
adanya tempat yang mewadahi kebudayaan Madura.
1.3 Tujuan
Tujuan
dari objek rancangan ini adalah Merencanakan dan merancang bangunan arsitektural
taman budaya yang dapat berfungsi secara optimal dan memenuhi standarisasi
sesuai
tuntutannya, sehingga tercapai keinginan untuk melestarikan budaya Madura dan semua
khasanah Madura.
Berikut adalah detail tujuan tujuan yang
ingin dicapai pada bangunan ini:
1.3.1
Tujuan Edukatif
Sebagai
sarana untuk memberikan pengetahuan ke-Madura-an kepada masyarakat
Madura, wisatawan, maupun peneliti.
1.3.2
Tujuan Promotif
Sebagai wadah untuk mengenalkan
kepada masyarakat luas mengenai kebudayaan Madura.
1.3.3
Tujuan Rekreatif
Sebagai tempat wisata yang
representatif bagi masyarakat luas pada umumnya dan masyarakat Madura pada khususnya.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1
Sejarah
dan Asal – Usul Suku Madura
Ditinjau dari bukti sejarah yang
ada, Madura pertama-tama muncul di dalam catatan sejarah melalui hubungannya
dengan kerajaan Budha Shiva Singasari (abad ke-13) kemudian Majapahit (abad
ke-14) di Jawa Timur. Lombard menulis tentang hal itu (1972: 259). Nama Madura,
ditulis Madura, tertera tiga kali didalam Nagakertagama, terutama pada
tembang XV.
1. Menurut cerita jaman kuno (± abad
pertama Masehi), yang ditulis diatas daun lontar, pada suatu saat kerajaan
Mendangkawulan kedatangan musuh dari negeri Cina. Didalam peperangan tersebut
Mendangkawulan berkali-kali menderita kekalahan, sehingga kedatangan seorang
yang sangat tua dan berkata bahwa di Pulau Madu Oro (Madura) bertempat tinggal
anak muda bernama Raden Segoro (Segoro = laut). Raja dianjurkan minta bantuan
kepada Raden Segoro jika didalam peperangan ingin menang. Raden Segoro
berangkat dengan membawa senjata Si Nengolo dan berperanglah untuk mengusir
tentara Cina. Tentara musuh banyak yang tewas dan kerajaan Mendangkawulan
menang dalam peperangan.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura di antaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram. Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan. Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan. Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya: Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda). Dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpi2 masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo. Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
Jokotole Setelah Jokotole selesai melakukan peperangan ia kembali ke Sumenep, tidak lama kemudian datanglah Adipodaj (ayah dari Jokotole) untuk menjumpai ibu Jokotole (Puteri Kuning).
Pulau Sapudi Setelah beberapa hari ke Sumenep, Ia lalu ke Sepudi membawa Puteri Kuning, pada waktu itu di Sepudi yang memerintah ialah nenek Jokotole Panembahan Blingi (Wilingi), setelah itu beliau meninggal dunia, setelah itu Adipodaj menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Wiroakromo, menjalankan pemerintahan didaerah sekitar Sepudi, Panembahan ini dikenal sudah memeluk Islam siang dan malam suka memegang tasbih dari buah pohon Nyamplong, karena itu banyaklah orang menanam pohon Nyamplong tersebut. Keraton yang ia tempati disebut orang Desa Nyamplong, Adipodaj juga meninggal ditempat itu dan kuburannya disebut Asta Nyamplong yang hingga sekarang masih juga banyak orang yang berkunjng untuk berziarah.
Diceritakan bahwa Adipodaj memang menjalankan pemerintahannya dengan sangat bijaksana dan apa yang menjadi cita citanya dapat direalisir dengan baik, pohon nyamplong yang dianjurkan ditanam ternyata kayunya sangat baik untuk dijadikan alat-alat perahu, Pulau Sepudi dari dulu terkenal dengan sapinya yang sapi itu dilombakan di Madura dan terkenal dengan sebutan 'Kerapan Sapi'.
Menurut keterangan orang hal itu terjadi karena cara-cara Adipodaj memelihara ternak itu tetap tertanam dalam hati dan sanubari rakyat dan rakyat tidak berani merubahnya, petunjuk-petunjuk Adipodaj dalam memelihara ternak dan pertanian dianggap mempunyai kekuatan magis untuk diikutinya dan pelanggaran-pelanggaran dianggap dapat menimbulkan bahaya juga menjadi kebiasaan warga Sepudi, jika ada wabah penyakit menyerang penduduk disana mereka mengeluarkan alat-alat peninggalan Adipodaj (Calo', kodi, dsb) untuk diarak guna menolak adanya wabah penyakit tersebut.
Ratu Bangkalan Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung.
Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul/Panembahan Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya dengan prinsip-prinsip islami.
Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian megahnya, bak istana.
Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran berkumandang tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang komplek makam maupun masjid.
Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.
Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya. "Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan sering nyekar ke komplek makam ini," terang pria sepuh ini.
Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa.
"Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih keturunan Jawa dan senang wayang kulit," ungkap Yahya. Sementara itu, Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau mengkhatamkan Alquran.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Ratu Bangkalan Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain di wilayah Pulau Madura. Karena disana terdapat sebuah makam seorang ibu, menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat baik.
Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur. Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa "Kemuncak" (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks, karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat perhatian besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan.
Sultan Agung Bangkalan
sena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. Seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkan Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759, Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
2. Cerita lain tentang kepahlawanan oerang-orang Madura, ialah terjadi sekitar berdirinya kerajaan Majapahit dalam abad ke 13, orang Maduralah yang membuka hutan Tarikdan mendapat bauh maja yang pahit, sehingga daerah baru tersebut disebut Majapahit. Tokoh-tokoh Madura di antaranya ialah Wiraraja, Lembu Sora, Ranggalawe, yang membantu Raden Wijaya sehingga mencapai punjak keberhasilannya dalam mendirikan kerajaan. Sewaktu Raden Wijaya dikejar oleh tentara Jayakatwang dan kerajaan Singosari runtuh, ia mengungsi ke Sumenep minta perlindungan dan bantuan kepada Raden Wiraraja dan sang Adipati Madura inilah yang menyusun rencana agar Raden Wijaya pewaris tahtakerajaan Singosari dapat kembali berkuasa. Memang Wiraraja atau yang disebut Banyak Wide adalah aktor intelektualitas yang memenangkan perang terhadap tentara Tartar yang dikirim oleh Kubelai Khan untuk menaklukkan kerajaan Jawa.
Tentara Tartar mengalahkan kerajaan Jayakatwang Kediri,tetapi tentara Tartar ini pula dihancurkan oleh Raden Wijaya dengan bantuan orang-orang Madura yang bersemangat tinggi dalam berperang untuk mengusir musuh.
3. Peristiwa lain terjadi disekitar abad ke 15, ketika Dempo Awang (Sam Poo Tualang) seorang Panglima Perang dari Negeri Cina nenunjukkan kekuasaannya kepada raja-raja di Jawa dan Madura, agar mereka tundek kepadanya. Didalam peperangan itu, Jokotole dari Madura melawan Dempo Awang yang menaiki kapal layar yang dapat berlayar di laut, diatas gunung diantara bumi dan langit. Demikian menurut cerita legenda. Didalam peperangan itu Jokotole mengendarai Kuda Terbang, pada suatu saat setelah ia mendengar suara dari pamannya (Adirasa), yang berkata "pukul", maka Jokotole menahan kekang kudanya dengan keras dan ia menoleh sambil memukul cemeti (cambuknya) mengenai musuhnya sehingga hancur luluh jatuh berantakan.
Menurut kepercayaan orang bahwa kapal Dampo Awang tersebut hancur luluh ketanah tepat di atas Bancaran (artinya, bâncarlaan), Bangkalan. Sementara Piring Dampo Awang jatuh di Ujung Piring yang sekarang menjadi nama desa di Kecamatan Kota Bangkalan. Sedangkan jangkarnya jatuh di Desa/Kecamatan Socah. Dan menurut cerita bahwa Sam Poo Tualang tersebut adalah seorang Laksamana Cina yang bernama Cheng Hoo.
4. Sewaktu Sultan Agung memimpin Mataram, Ia menjalankan politik pemerintahan untuk mempersatukan Jawa dan Madura, bahkan ingin mempersatukan seluruh kepulauan Nusantara, agar Kompeni sukar melebarkan sayapnya. Karena itu Sultan Agung kadang-kadang menjalankan politik kekerasan. Dalam tahun 1614 Surabaya ditaklukkakn, demikian pula Pasuruan dan Tuban. Akhirnya dalam tahun 1624, Madura mendapat giliran. Pendekatan yang kurang bijaksana menimbulkan peperangan yang dahsyat. Tentara Madura yang berjumlah 2.000 orang melawan pasukan Mataram yang berjumlah 50.000 orang. Perjuangan Rakyat Madura menunjukkan keberanian yang luar biasa, baik pria maupun wanita maju ke garis depan.
Sebanyak 6.000 orang tentara Mataram dapat ditewaskan, tetapi Sultan Agung tidak putus asa, yang gugur segera diganti. Akhirnya Madura dapat ditaklukkan. Satu-satunya keturunan raja Madura yang masih hidup adalah Raden Praseno yang masih belum dewasa. Ia dibawa ke Mataram oleh Sultan Agung dan setelh dewasa dikawinkan dengan salah seorang putri adik Raja Mataram. Dalam jaman Sultan Agung, Mataram ditakuti oleh Kompeni Belanda, tetapi setelah Amangkurat I berkuasa, Kompeni menjalankan politik pecah belah dan Amangkurat I tidak mempunyai kewibawaan. Pangeran Alit (adiknya sendiri) dicurigai dan diperintahkan untuk ditangkap dan dibunuh. Raden Maluyo ayah dari Trunojoyo juga menjadi korman. Akhirnya juga Cakraningrat I (Raden Praseno), penasehat umum kerajaan menjadi korban pembersihan. Trunojoyo maju ke depan hanya karena terdorong untuk membasmi ketidakadilan, kemungkaran dan anti penjajahan. Bukan kekuasaan dan kedudukan yang menjadi tujuan hidup Trunojoyo, dan ini terbukti waktu mahkota kerajaan Majapahit ada ditangan kekuasaannya. Mahkota ini secara turun-temurun jatuh ketangan raja-raja yang menguasai Jawa. Trunojoyo tidak pernah menempatkan mahkota Majapahit diatas kepalanya, pun juga tidak pernah menamakan dirinya sebagai Sesuhunan. Mahkota yang ada ditangannya dikembalikan kepada Susuhunan, asal saja Susuhunan mau ke Kediri dengan tidak berteman dengan Belanda (artinya: Amangkurat II diminta untuk memutuskan hubungannya dengan Belanda). Dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759.
Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
6. dalam masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat, sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan, Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Kemudian ia dan serta pemimpin-pemimpin pesantren lainnya ditangkap dan ditembak mati. Akhirnya atas campur tangan Panglima Tentara Jepang (Seiko Sisikan) di Jakarta, mereka yang masih ditahan dibebaskan kembali dan pembantaian lebih lanjut dapat dihentikan.
lahirlah beberapa orang anak dengan nama-nama sebagai berikut :
1. Kiyahi Adipati Pranomo
2. Kiyahi Pratolo
3. Kiyahi Pratali
4. Pangeran Panagkan dan
5. Kiyahi Pragalbo.
Pada sauatu saat Demang Palakaran bermimpi bahwa kemudian hari yang akan menggantikan dirinya ialah Kiyahi Pragalbo yang akan menurunkan pemimpi2 masyarakat yang baik, putera yang tertua Pramono oleh ayahnya disuruh bertempat tinggal di Sampang dan memimpin pemerintah dikota itu. Ia kawin dengan puteri Wonorono di Pamekasan karena itu ia juga menguasai Pamekasan jadi berarti Sampang dan Pamekasan bernaung dalam satu kerajaan, demikian pula sewaktu Nugeroho (Bonorogo) menggantikan ayahnya yang berkeraton di Pamekasan dua daerah itu masih dibawah satu kekuasaan, setelah kekuasaan Bonorogo Sampang terpisah lagi dengan Pamekasan yang masing-masing dikuasai oleh Adipati Pamadekan (Sampang) dan Pamekasan dikuasai oleh Panembahan Ronggo Sukawati, kedua-duanya putera Bonerogo. Kemudian Sampang diperintah oleh Pangeran Adipati Mertosari ialah cucu dari puteri Pramono putera dari Pangeran Suhra Jamburingin, demikianlah diceritakan bahwa memang menjadi kenyataan Kiyahi Demang banyak menurunkan Raja-Raja di Madura.
Jokotole Setelah Jokotole selesai melakukan peperangan ia kembali ke Sumenep, tidak lama kemudian datanglah Adipodaj (ayah dari Jokotole) untuk menjumpai ibu Jokotole (Puteri Kuning).
Pulau Sapudi Setelah beberapa hari ke Sumenep, Ia lalu ke Sepudi membawa Puteri Kuning, pada waktu itu di Sepudi yang memerintah ialah nenek Jokotole Panembahan Blingi (Wilingi), setelah itu beliau meninggal dunia, setelah itu Adipodaj menggantikan ayahnya dengan gelar Penembahan Wiroakromo, menjalankan pemerintahan didaerah sekitar Sepudi, Panembahan ini dikenal sudah memeluk Islam siang dan malam suka memegang tasbih dari buah pohon Nyamplong, karena itu banyaklah orang menanam pohon Nyamplong tersebut. Keraton yang ia tempati disebut orang Desa Nyamplong, Adipodaj juga meninggal ditempat itu dan kuburannya disebut Asta Nyamplong yang hingga sekarang masih juga banyak orang yang berkunjng untuk berziarah.
Diceritakan bahwa Adipodaj memang menjalankan pemerintahannya dengan sangat bijaksana dan apa yang menjadi cita citanya dapat direalisir dengan baik, pohon nyamplong yang dianjurkan ditanam ternyata kayunya sangat baik untuk dijadikan alat-alat perahu, Pulau Sepudi dari dulu terkenal dengan sapinya yang sapi itu dilombakan di Madura dan terkenal dengan sebutan 'Kerapan Sapi'.
Menurut keterangan orang hal itu terjadi karena cara-cara Adipodaj memelihara ternak itu tetap tertanam dalam hati dan sanubari rakyat dan rakyat tidak berani merubahnya, petunjuk-petunjuk Adipodaj dalam memelihara ternak dan pertanian dianggap mempunyai kekuatan magis untuk diikutinya dan pelanggaran-pelanggaran dianggap dapat menimbulkan bahaya juga menjadi kebiasaan warga Sepudi, jika ada wabah penyakit menyerang penduduk disana mereka mengeluarkan alat-alat peninggalan Adipodaj (Calo', kodi, dsb) untuk diarak guna menolak adanya wabah penyakit tersebut.
Ratu Bangkalan Dalam literatur perkembangan Islam di Madura, sosok Raden Abdul Kadirun memang tidak banyak disebut. Sultan Bangkalan II ini memang lebih dikenal sebagai tokoh pemerintahan yang ulung.
Mewarisi Pemerintahan Sultan Bangkalan I (Sultan Abdul/Panembahan Adipati Tjakraadiningat I), Raden Abdul Kadirun berjasa memajukan wilayah di ujung Barat Madura ini. Tapi itu tidak serta merta menghapuskan perannya dalam penyebaran Islam. Raden Abdul Kadirun dikenal menjalankan pemerintahannya dengan prinsip-prinsip islami.
Saat memerintah pada 1815-1847 Islam berkembang dan menjadi warna yang dominan di masyarakat Bangkalan. Tak heran, Rato (pemimpin/pemerintah) ini begitu dihormati sosoknya. Tanda bahwa Sultan Abdul Kadirun begitu berjasa terhadap penyebaran Islam juga terlihat dari nisannya yang dibangun sedemikian megahnya, bak istana.
Terletak di sisi barat komplek Masjid Agung Bangkalan, makam Raden Abdul Kadirun ini selalu dipenuhi para peziarah, terutama saat Ramadan seperti sekarang ini. Siang, bahkan hingga larut malam alunan ayat suci Alquran berkumandang tanpa henti. Nyaris tidak ada tempat kosong di setiap sudut ruang komplek makam maupun masjid.
Nuansa bangunan kuno begitu kental dengan ukiran motif bunga dan lambang-lambang perjuangan saat mengusir penjajah. Salah satu nisan makam ada yang berbentuk mahkota kerajaan. Ini merupakan sebagai simbol seseorang yang masih keturunan pemimpin. Juru kunci makam Achmad Yahya mengatakan Raden Abdul Kadirun merupakan tokoh penting dalam sejarah Bangkalan, bahkan merupakan seorang pemimpin atau Bupati pertama yang berjuang melawan penjajah belanda.
Raden Abdul Kadirun merupakan keturan Ratu Ibu, yang terletak di Arosbaya. Yahya menambahkan, Raden Abdul Kadirun yang bergelar Sultan Cakra Adiningrat II ini juga masih mempunyai garis keturunan dengan Brawijaya. "Beliau mempunyai 16 orang anak, saat ini masih ada keturunannya dan sering nyekar ke komplek makam ini," terang pria sepuh ini.
Komplek makam tersebut, bisa dikatakan merupakan komplek makam keluarga. Hampir seluruh kerabat Sultan disemayamkan di sini. Bahkan, istri tercinta Sultan yakni R. Ayu Masturah atau Ratu Ajunan, beserta beberapa orang putranya disemayamkan secara bersebelahan dan berada dalam satu cungkup. Komplek makam bagian dalam yang dibangun sejak 1848 tertera jelas didominasi kultur Jawa.
"Berdasarkan pengakuan para ahli warisnya, Sultan masih keturunan Jawa dan senang wayang kulit," ungkap Yahya. Sementara itu, Muadzin Masjid Agung Bangkalan, Supardi mengatakan, jumlah pengunjung masjid dan komplek makam terus meningkat. Kebanyakan ingin beritikaf atau mengkhatamkan Alquran.
Sehingga, ketika Pangeran Cakraningrat I dan Raden Maluyo, ayahanda Pangeran Tronojoyo, gugur di medan pertempuran membela kedaulatan Mataram saat terjadi pemberontakan oleh Pangeran Alit, ternyata Sunan Amangkurat I memilih mengangkat Raden Undagan yang juga paman Pangeran Tronojoyo sebagai raja di Madura Barat dengan gelar Cakraningrat II.
Padahal, bardasarkan garis keturunan kerajaan Madura Barat, sebenarnya Pangeran Tronojoyo paling berhak meneruskan dinasti kerajaan kakeknya Pangeran Cakraningrat I. Namun, karena ambisi kedua kakek dan pamannya ini serta politik devede et impera yang dilakukan Belanda, akhirnya Pangeran Tronojoyo tersingkir dari kursi singgasana Kerajaan Madura Barat.
Akhirnya, Pangeran Tronojoyo pun melakukan pemberontakan. Ini terjadi sekitar tahun 1648 M. Pangeran Cakraningrat II lalu memindahkan kembali istana Kerajaan Madura Barat dari Madegan, Kelurahan Polagan, Sampang ke Desa Pelakaran, Arosbaya, Bangkalan. Karena pada saat itu, pasukan Pangeran Tronojoyo yang tidak mau bekerja sama dengan penjajah Belanda berhasil membumihanguskan istana kerajaan di Madegan.
Sejak saat itulah, sejarah keberadaan dinasti Kerajaan Madura Barat yang pernah mengalami masa kejayaannya di Madegan, Polagan, Sampang mulai memudar, bahkan menghilang. Ditambah lagi, setelah Pangeran Tronojoyo gugur dalam medan pertempuran melawan kebatilan yang dilakukan kedua kakek dan pamannya serta mengusir penjajah Belanda dari bumi pertiwi.
Menurut ahli sejarah Sampang Drs. Ali Daud Bey, sampai saat ini silsilah keturunan Pangeran Tronojoyo yang dilahirkan di Kampung Pebabaran Rongtengah, Sampang ini, belum ditemukan. Karena dari buku-buku literatur para pakar sejarawan Belanda, tidak ada satu pun yang menulis tentang perjuangan Pangeran Tronojoyo dalam melakukan pemberontakan mengusir penjajah Belanda dari daerah kekuasaan Mataram.
Ratu Bangkalan Warga Kabupaten Bangkalan tentunya boleh berbangga hati, lantaran disana menyimpan beribu macam potensi wisata yang tidak ada duanyadi kota lain di wilayah Pulau Madura. Karena disana terdapat sebuah makam seorang ibu, menurut ceritanya yang melahirkan raja-raja Madura. Bangunan berusia ratusan tahun tersebut, hingga kini masih berdiri kokoh. Obyek wisata ziarah itu merupakan salah satu asset Kabupaten Bangkalan, yeng ternyata tetap terawat baik.
Pasarean Aer Mata tadi pada tahun 1970 lalu terancam hancur. Diantara tiga Cungkup utama sebagai penyangga rapuh, beberapa "Kemuncak" (hiasan pagar) banyak berjatuhan disekitar kompleks, karena tidak terawat. Maka pada tahun 1978, Kasi Depdikbud Bangkalan yang saat itu dijabat oleh Ny. Hari Siyanto melaporkan tentang kondisi tempat bersejarah di Bangkalan kepada pemerintah Pusat. Rupanya laporan tadi mendapat perhatian besar sehingga dilakukan pemugaran pada tahun 1979 lalu dan 1987 diresmikan oleh Mendikbud Prof. Dr. Fuad Hasan.
Sultan Agung Bangkalan
sena, putera Pangeran Tengah dari Arosbaya disertai Pangeran Sentomerto, saudara dari ibunya yang berasal dari Sampang, dibawa oleh Panembahan Juru Kitting beserta 1000 orang Sampang lainnya ke Mataram. Di Mataram Prasena diterima dengan senang hati oleh Sultan Agung, yang sekanjutnya diangkat sebagai anak.
Bahkan, kemnudian Prasena dinobatkan sebagai penguasa Madura yang bergelar Cakraningrat I. Dia dianugerahi hadiah uang sebesar 20 ribu gulden dan berhak memakai payung kebesaran berwarna emas. Sebaliknya, Cakraningrat I diwajibkan hadir di Mataram setahun sekali. Karena selain menjadi penguasa Madura, dia juga punya tugas-tugas penting di Mataram. Sementara pemerintahan di Sampang dipercayakan kepada Pangeran Santomerto.
Cakraningrat I kemudian menikah dengan adik Sultan Agung, namun hingga istrinya, meninggal dia tidak mendapat keturunan. Kemudian Cakraningrat I menikah dengan Ratu Ibu, yang masih keturunan Sunan Giri. Dari perkawinannya kali ini dia menmpunyai tiga orang anak, yaitu RA Atmojonegoro, R Undagan dan Ratu Mertoparti. Sementara dari para selirnya dia mendapatkan sembilan orang anak, salah satu di antaranya adalah Demang Melaya.
Sepeninggal Sultan Agung tahun 1645 yang kemudian diganti oleh Amangkurat I, Cakraningrat harus menghadapai pemberontakan Pangeran Alit, adik raja. Tusukan keris Setan Kober milik Pangeran Alit menyebabkan Cakraningrat I tewas seketika. Demikian pula dengan puteranya RA Atmojonegoro, begitu melihat ayahnya tewas dia segera menyerang Pangeran Alit, tapi dia bernasib sama seperti ayahnya.
Cakraningrat I diganti oleh Undagan. Seperti halnya Cakraningrat I, Undagan yang bergelar Cakraningrat II ini juga lebih banyak menghabiskan waktunya di Mataram. Di masa pemerintahannya, terjadi pemberontakan putra Demang Melaya yang bernama Trunojoyo terhadap Mataram.
Pemberontakan Trunojoyo diawali dengan penculikan Cakraningrat II dan kemudian mengasingkannya ke Lodaya Kediri. Pemberontakan Trunojoyuo ini mendapat dukungan dari rakyat Madura. Karena Cakraningrat II dinilai rakyat Madura telah mengabaikan pemerintahan Madura.
Kekuatan yang dimiliki kubu Trunojoyo cukup besar dan kuat, karena dia berhasil bekerja sama dengan Pangeran Kejoran dan Kraeng Galesong dari Mataram. Bahkan, Trunojoyo mengawinkan putrinya dengan putra Kraeng Galesong, unutk mempererat hubungan.
Tahun 1674 Trunojoyo berhasil merebut kekuasaan di Madura, dia memproklamirkan diri sebagai Raja Merdeka Madura barat, dan merasa dirinya sejajar dengan penguasa Mataram. Berbagai kemenangan terus diraihnya, misalnya, kemenangannya atas pasukan Makassar (mei 1676 ) dan Oktober 1676 Trunojoyo menang atas pasukan Mataram yang dipimpin Adipati Anom.
Selanjutnya Trunojoyo memakai gelar baru yaitu Panembahan Maduretna. Tekanan-tekanan terhadap Trunojoyo dan pasukannya semakin berat sejak Mataram menandatangani perjanjian kerjasama dengan VOC, tanggal 20 maret 1677. Namun tanpa diduga Trunojoyo berhasil menyerbu ibukota Mataram, Plered. Sehingga Amangkurat harus menyingkir ke ke barat, dan meninggal sebelum dia sampai di Batavia.
Benteng Trunojoyo sedikit demi sedikit dapat dikuasai oleh VOC. Akhirnya Trunojoyo menyerah di lereng Gunung Kelud pada tanggal 27 Desember 1679. Dengan padamnya pemberonrtakan Trunojoyo. VOC kembali mengangkat Cakraningrat II sebagai penguasa di Madura, karena VOC merasa Cakraningrat telah berjasa membantu pangeran Puger saat melawan Amangkurat III, sehingga Pangeran Puger berhasil naik tahta bergelar Paku Buwono I. Kekuasaan Cakraningrat di Madura hanya terbatas pada Bangkalan, Blega dan Sampang.
Pemerintahan Madura yang mulanya ada di Sampang, oleh Cakraningrat II dipindahkan ke Tonjung Bangkalan. Dan terkenal dengan nama Panembahan Sidhing Kamal, yaitu ketika dia meninggal di Kamal tahun 1707, saat dia pulang dari Mataram ke Madura dalam usia 80 tahun. Raden Tumenggung Sosrodiningrat menggantikan kedudukan ayahnya sebagai Bupati Madura barat dengan gelar Cakraningrat III.
Tumenggung Surahadiningrat yang diutus Cakraningrat untuk menghadapi pasukan Pamekasan ternyata menyerang pasukan Cakraningrat sendiri dengan bantuan pasukan Sumenep. Sekalipun Cakraningrat meninggal, pergolakan di Madura masih terus terjadi.
Cakraningrat III digantikan oleh Timenggung Surahadiningrat dengan gelar Cakraningrat IV. Awal pemerintahan Cakraningrat IV diwarnai banyak kekacauan. Pasukan Bali dibawah kepemimpinan Dewa Ketut yang sebelumnya diminta datang oleh Cakaraningrat III, datang dengan membawa 1000 prajurit.
Tahu yang meminta bantuan sudah meninggal dan situasi telah berubah, pasukan Bali menyerang Tonjung. Cakraningrat yang sedang berada di Surabaya memerintahkan adiknya Arya Cakranegara untuk mengusir pasukan Bali. Tetapi Dewa Ketut berhasil membujuk Cakranegara untuk berbalik menyerang Cakraningrat IV. Tetapi dengan bantuan VOC, Cakranoingrat IV berhasil mengusir pasukan Arya Cakranegara dan Bali.
Kemudian dia memindahkan pusat pemerintahannya ke Sambilangan. Suatau peristiwa yang terkenal dengan Geger Pacina (pemberontakan masyarakat Cina) juga menjalar ke Mataram. Cakraningrat IV bekerjasama dengan VOC memerangi koalisi Mataram dan Cina ini. Namun hubungan erat antar Madura denga VOC tidak langgeng. Cakraningrat menyatakan perang dengan VOC karena VOC telah berkali-kali melanggar janji yang disepakati.
Dengan bekerja sama dengan pasukan Mengui Bali, Cakraningrat berhasil mengalahkan VOC dan menduduki Sedayu, Lamongan, Jipang dan Tuban. Cakranoingrat juga berhasil mengajak Bupati Surabaya, Pamekasan dan Sumenep untuk bersekutu melawan VOC. Tapi Cakraningrat tampaknya harus menerima kekalahan, setelah VOC mengerahkan pasukan dalam jumlah besar. Cakraningrat dan dua orang putrinya berhasil melarikan diri ke Banjarmasin, namun oleh Raja Bajarmasin dia ditangkap dan diserahkan pada VOC.
Cakraningrat diasingkan ke Kaap De Goede Hoop (Tanjung Penghargaan). dan meninggal di tempat pembuangannya, sehingga dia juga dikenal dengan nama Panembahan Sidengkan Sebelum abad ke 18, Madura terdiri dari kerajaan-kerajaan yang saling bersaingan, akan tetapi sering pula bersatu dengan melaksanakan politik perkawinan. Di antaranya kerajaan-kerajaan tersebut adalah Arosbaya, Blega, Sampang, Pamekasan dan Sumenep. dalam abad ke 18 Kompeni Belanda mengadakan pembatasan-pembatasan serta penindasan-penindasan yang makin merajalela terhadap kekuasaan raja-raja dan rakyat Madura, sehingga di Madura Barat telah terjadi suatu perlawanan yang dipimpin oleh Cakraningrat IV. Tetapi perlawanan tersebut dapat dipatahkan karena Kompeni mendatangkan bala bantuan dari Batavia. Cakraningrat IV terus menyingkir ke Banjarmasin, tetapi akhirnya tertangkap pula disana, Cakraningrat IV terus dikirim ke Kaap de Goede Hoop, dan ia meninggal dunia disana pada tahun 1759, Orang Madura memberinya nama Pangeran Sidengkap, karena Cakraningrat IV meninggal dunia di tempat pengasingannya yakni Kaap de Goede Hoop.
Dalam
masa pemerintahan Jepang, sejak tanggal 18 Agustus 1942, kekejaman tentara
Jepang yang menginjak-nginjak nilai dan martabat rakyat Madura, serta
keangkaramurkaannyatelah menimbulkan penderitaan yang membebani rakyat,
sehingga ada tahun 1943 telah berkobar suatu pemberontakandi Desa Prajan,
Sampang yang dipimpin pesantren setempat.
Islam di Madura Seperti yang di kemukakan di atas
bahwa Sunan Giri jang menyebarkan Agama Islam di Pulau Madura, akan tetapi
sebelum itu sudah banyak pedagang-pedagang Islam misalnya dari Gujarat yang
singgah dipelabuhan-pelabuhan pantai madura, terutama dipelabuhan kalianget.
Antar aksi yang berpuluh-puluh tahun antara penduduk asli dengan para pedagang
sebagai pendatang tentu membawa pengaruh terhadap kebudayaan dan kepercayaan
mereka, diceritakan disuatu daerah didekat desa Persanga di Sumenep datang
seorang penyiar Agama Islam. Ia memberi pelajaran Agama Islam di Pulau Sumenep,
diceritakan pula bahwa seorang santri telah dianggap dapat melakukan rukun agam
Islam maka ia lalu dimandikan dengan air dengan dicampuri macam-macam bunga
yang baunya sangat harum, dimandikan secara demikian disebut dengan "e
dusdus", karena itu tempat dimana dilakukan upacara dinamakan desa
"Padusan". Kampung Padusan ini termasuk desa Pamolokan kota Sumenep,
guru yang memberi pelajaran agama itu disebut "Sunan Padusan" menurut
riwayat hidupnya ia keturunan dari Arab ayahnya bernama Usman Hadji, anak dari
Raja Pandita saudara dari Sunan Ampel. Pada waktu itu rakyat sangat suka
mempelajari Agama Islam sehingga mempengaruhi kepada Rajanya ialah pangeran
jokotole yang lalu masuk Islam.
Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura.
Sunan Padusan itu lalu dipungut menjadi anak menantu Jokotole tempat tinggal Sunan padusan itu mula-mula di desa Padusan lalu pindah kekeraton Batuputih. Penyebaran agama Islam ini terus meluas tidak hanya di pantai-pantai Pulau Madura, tetapi juga sampai kepelosok-pelosok desa, karena itu penduduk Madura hingga sekarang boleh dikatakan 99% beragama Islam. Demikian pula kebudayaan Arab masuk ke Madura bersama meluasnya Agama Islam. Karena itu kesenian Hadrah, gambus, zamrah terdapat sampai kepelosok-pelosok desa dan kampung sehingga boleh dikatakan sudah menjadi kebudayaan Madura.
2.2
Domisili
dan.Daerah Pengembangannya
Di samping suku
Jawa
dan Sunda,
orang Madura juga banyak yang bertransmigrasi ke wilayah lain terutama ke Kalimantan
Barat dan Kalimantan
Tengah, serta ke Jakarta, Tangerang, Depok, Bogor, Bekasi,
dan sekitarnya, juga Negara Timur Tengah khususnya Saudi Arabia. Beberapa kota
di Kalimantan
seperti Sampit
dan Sambas,
pernah terjadi kerusuhan etnis yang melibatkan orang Madura disebabkan oleh
kesenjangan sosial.
2.3
Adat
Istiadat Suku Madura
Suku Madura terkenal karena gaya
bicaranya yang blak-blakan serta sifatnya yang keras dan mudah tersinggung,
tetapi mereka juga dikenal hemat, disiplin dan rajin bekerja. Untuk naik haji,
orang Madura sekalipun miskin pasti menyisihkan sedikit penghasilannya Selain
itu orang Madura dikenal mempunyai tradisi Islam yang kuat.
2.3.1
Kesopanan
Walau orang di luar Madura menilai mereka sangat kasar, namun
penghormatan terhadap nilai-nilai kesopanan sangat tinggi sekali. Dasar utama dari nilai-nilai kesopanan adalah penghormatan
orang Madura kepada orang lain, terutama yang lebih tua. Nilai-nilai kesopanan
ini mengatur hubungan antargenerasi, kelamin, pangkat dan posisi sosial.
2.3.2
Kehormatan
Harga diri atau martabat adalah nilai yang sangat mendasar
dalam masyarakat Madura. Harga diri harus selalu dipertahankan agar tidak
diremehkan orang lain. Dasar utama dari harga diri adalah rasa malu (rasa malo
atau todus). Orang Madura selalu menekankan bahwa tambana todus mate' (obatnya
malu adalah mati). lebih bagus apote tolang etembang apote mata (lebih baik
mati daripada malu tidak dapat mempertahankan harga diri). Nilai-nilai harga
diri bagi masyarakat Madura selain berkaitan dengan ego, wanita dan agama juga
berkait erat dengan masalah tanah dan air.
2.3.3
Agama
Simbol keagamaan yang seringkali digunakan adalah kyai.
Itulah yang menyebabkan lapisan atas pada stratifikasi sosial ditempati oleh
para kiai. Mereka bukan hanya sebagai pemuka agama namun juga sebagai pemimpin
masyarakat. Para kyai dipandang memiliki kendali legitimasi dan otoritas
kharismatis, sehingga buah pikirannya mudah sekali untuk disepakati. mereka
memiliki sebuah peribahasa "Lebbi Bagus Pote Tollang, atembang Pote
Mata". Artinya, lebih baik mati (putih tulang) daripada malu (putih mata),
Tradisi carok juga berasal dari sifat itu.
2.3.4
Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi suku Madura sangatlah royal, dalam arti
sangat senang merayakan adat istiadatnya dengan cara besar – besaran, namu
dikala itu orang Madura selalu senang mengumpulkan harta untuk hari hari
selanjutnya.
2.3.5
Stratifikasi Sosial
Ø Oreng Kene’ / Dume’ = Sebagai
Lapisan Terbawah, Yaitu : masyarakat yang biasanya kebanyakan bekerja
sebagai petani – nelayan, pengrajin dan orang yang tidak mempunyai mata
pencaharian tetap.
Ø Ponggaba, Yaitu : orang yang bekerja
di Instansi normal terutama di Kantor Pemerintah.
Ø Parjaji, Yaitu : Lapisan masyarakat
yang berada paling atas.
2.3.6
Sistem Pernikahan
Dalam adat Madura, Jawa Timur, prosesi pernikahan dimulai
dengan acara lamaran. Sebelum melamar, pihak laki-laki biasanya memberi
kabar terlebih dahulu kepada pihak perempuan yang akan dinikahinya, dalam
adat Madura disebut ngangini. Pemberian hadiah kepada calon pengantin dalam
adat Madura ini disebut ater tolo atau alamar nyaba “jajan”. Pertemuan kedua
keluarga calon pengantin dilakukan juga nyeddek temo, yaitu penentuan hari dan
tanggal pernikahan. Kebanyakan orang Madura sering menikah dengan saudara
sendiri, karena harta yang dimiliki tidak jatuh pada orang yang belum akrap di
kenalnya.
Persiapan kecantikan tubuh dalam adat Madura dilakukan 40
hari sebelum waktu pesta pernikahan. Selama 40 hari, sang calon pengantin
perempuan dipingit dirumah. Dipingit berarti tidak boleh keluar rumah selama
waktu yang ditentukan.
Untuk perawatan kecantikan kulit sang perempuan biasanya
menggunakan berbagai macam bedak, yaitu bedak penghalus kulit, bedak dingin,
bedak mangir wangi, dan bedak bida yaitu bedak tradisional untuk menyehatkan
kulit, menghaluskan wajah, menjadikan kulit kuning langsat, dan menghilangkan
bau badan. Selain itu calon pengantin perempuan juga merawat rambut
dengan wangi-wangian dan dupa.
Pakaian resepsi pernikahan pengantin Madura tidak
berbeda dengan pakaian adat dari daerah lain di Jawa. Dalam pernikahan Madura,
pengantin laki-laki mengenakan baju adat yang disebut beskap dengan kain
panjang.Pengantin laki-laki juga mengenakan blangkon yaitu penutup kepala
tradisional dari Jawa.Saat memakai pakaian pernikahan, pengantin laki-laki
ditemani oleh orang tua dan kerabat keluarga yang dituakan.Sedangkan pengantin
perempuan mengenakan kebaya, yaitu pakaian tradisional Jawa untuk perempuan,
dan juga kain panjang.Setelah kedua pengantin resmi dinikahkan secara agama,
resepsi pernikahan kemudian diselenggarakan pada malam harinya.Resepsi
pernikahan biasanya dilakukan di rumah keluarga perempuan.Namun dalam era
modern ini banyak pasangan pengantin yang melangsungkan pesta pernikahan dengan
menyewa tempat di hotel atau tempat lainnya.
Resepsi pernikahan dalam adat Madura dilakukan selama tiga
malam berturut-turut.Pada resepsi malam pertama, kedua mempelai pengantin
datang ke tempat resepsi dengan diiringi para perias dan para kerabat yang
dituakan.Setelah kedua mempelai tiba, diselenggarakanlah upacara muter dulang
yaitu upacara ketika pengantin perempuan duduk bersila diatas sebuah baki,
yaitu tempat untuk menyajikan makanan yang besar.Setelah itu, pengantin
laki-laki datang dengan jalan jongkok menuju kearah pengantin perempuan.
Pengantin laki-laki kemudian memutar baki yang diduduki oleh pengantin
perempuan.
Upacara memutar baki ini melambangkan kesiapan pengantin
laki-laki untuk memutar roda kehidupan rumah tangga. Setelah memutar baki yang
diduduki oleh pengantin perempuan, pengantin laki-laki memegang kepala sang
perempuan dengan mengucapkan kalimat, “Aku adalah suamimu dan engkau adalah
isteriku”. Kemudian pengantin laki-laki mengajak pengantin perempuan berjalan
menuju pelaminan.Pada resepsi malam pertama ini kedua pengantin mengenakan
busana pengantin tradisional yang disebut lega.
Pada resepsi malam yang kedua
pengantin mengenakan busana pengantin yang disebut kaputren. Pada malam kedua
ini para tamu yang datang ke pesta hanya terdiri dari para kerabat yang
dituakan dan kerabat dekat.Pada resepsi malam ketiga, kedua pengantin
mengenakan riasan khusus yang disebut rias lilin dengan kebaya putih dan hiasan
melati sebagai simbol kesucian.Setelah resepsi malam ketiga selesai, keesokan
harinya kedua pengantin melakukan kunjungan kerumah keluarga dan kerabat. Pada
setiap kunjungannya, pengantin perempuan akan diberi ontalan yaitu kalimat
ucapan “selamat menempuh hidup baru”.
2.3.7
Keagamaan Suku Madura
Ø Madura memiliki kekayaan kesenian
tradisional yang amat banyak.
· Tembang Macapat
Tembang yang dipakai sebagai media
untuk memuji Allah sebelum dilaksanakan shalat wajib, tembang tersebut penuh
sentuhan lembut dan membawa kesahduan jiwa.
Lambat laun tembang ini dipakai
untuk mengajak masyarakat Madura mencintai ilmu pengetahuan dan membenahi
kerusakan moral yang telah terjadi di Madura.
· Saronen.
Musik
sangat serbaguna yang mampu menghadirkan nuansa sesuai dengan kepentingannya.
kebanyakan dilantunkan pada hari senin. Musik saronen merupakan perpaduan dari
beberapa alat musik, tetapi yang paling dominan adalah alat musik tiup berupa
kerucut. Nah alat musik tiup itulah yang disebut dengan seronen.
·
Tari Duplang
Gerakan tari tradisional ini di
setiap gerakannya selalu menampilkan kata-kata yang tertera dalam Al Qur’an
seperti lafadz Allah Tari yang spesifik, unik, Keunikan
dari tarian ini disebabkan karena tarian ini merupa kan sebuah penggambaran
kehidupan seorang wanita desa. Wanita yang bekerja keras sebagai petani yang
selama ini terlupakan. Dijalin dan dirangkai dalam gerakan-gerakan yang sangat
indah, lemah-lembut, dan lemah gemulai.
Berbeda
dengan tarian Muang, tari Duplang merupakan tarian yang unik dan langka.
Unik karena tarian ini merupakan suatu gambaran prosesi kehidupan
seorang wanita desa. Di dalam tarian ini mengandung suatu pesan, yaitu masih
terlupakannya wanita desa yang bekerja sebagai petani. Tarian ini diciptakan
oleh seorang penari keraton yang bernama Nyi Raisa.
· Upacara Sandhur Pantel
BAB III
PENUTUP
3.1
KESIMPULAN
Ø
Suku Madura selalu menjaga kebudayaanya.
Ø
Menjaga dan melestarikan kebudayaan yang mereka
miliki.
Ø
Keberadannya selalu dihormati, dan namun ditakuti
oleh kebanyakan orang , karena watak yang mereka miliki sangatlah keras.
Ø
Selalu menjaga harga dirinya, tak ingin harga
dirinya direndahkan.
Ø
Sifat kesopanan terhadap orang lain sangatlah
tinggi.
Ø
Tentang ekonomi, mereka sering sekali menyisihkan
uangnya untuk tarap hidup yang jangka pajang.
3.2
SARAN
Sedikit
saran dari kami, suku Madura sangatlah menghoramti adat istiadatnya, selalu
melestarikaanya, meskipun dalm keadaan zaman semakin maju, kebudayaannya banyak
sekali dikenal dikalangan suku – suku lain, misalnya kerapan sapi yang sering
diadakan setiap satu tahun sekali, muncul rasa kebersamaan, dan memperbanyak
saudara.
Daftar Pustaka
0 komentar:
Post a Comment